Pada Juni 2018, Djokovic bersama sang istri mendaki Gunung Sainte-Victoire, gunung yang dikenal sebagai sumber inspirasi seniman kenamaan Prancis, Paul Cezanne, dan sepulang dari sana hingga kini petenis berusia 31 tahun itu telah menggondol Kejuaraan Wimbledon dan Amerika Serikat Terbuka.
"Saya ingat satu momen ketika mendaki pegunungan itu. Pegunungan yang tinggi. Kami mencapai puncak setelah tiga jam," kata Djokovic mengenang setelah memenangi turnamen AS Terbuka dengan mengalahkan Juan Martin Del Potro di New York, Minggu (9/9) setempat.
"Kami duduk dan melihat dunia dari perpektif itu, semacam menyuntikkan inspirasi dan motivasi baru," ujarnya menambahkan.
Di atas puncak Gunung Sainte-Victoire, Djokovic mengaku ia banyak berpikir tentang tenis serta berbagai permasalahan yang dihadapinya dalam olahraga raket itu.
"Saya berpikir tentang tenis, tentang berbagai emosi yang ditimbulkan tenis lewat berbagai cara. Segalanya positif. Saya merasa mendapatkan nafas baru untuk olahraga ini," katanya.
"Sisanya menjadi masa lalu, baik itu berbagai hasil, ataupun perasaan saya. Saya merasakan mendapat sebuah gelombang semangat yang terus berpancar sejak saat itu," ujar Djokovic menambahkan.
Baca juga: Djokovic kalahkan del Potro untuk gelar Grand Slam ke-14
Baca juga: Djokovic buyarkan impian Nishikori untuk capai final AS terbuka
Sempat melewatkan paruh kedua 2017 lantaran dirundung masalah cedera sikut, Djokovic tampil di Kejuaraan Australia Terbuka sebelum menjalani operasi atas cederanya namun hasil buruk terus membayangi termasuk ketika ia akhirnya terhenti di perempat final Roland Garros (Kejuaraan Prancis Terbuka).
Udara Pegunungan Alpen rupanya menjadi titik balik, sebab setelah menghirupnya Djokovic melesat memenangi Wimbledon, turnamen pemanasan jelang AS Terbuka di Cincinnati, hingga akhirnya merengkuh Grand Slam ke-14 di New York, demi menempatkannya sebagai petenis dengan raihan terbanyak sepanjang sejarah.
"Saya hanya harus memutuskan keterhubungan dari dunia luar sejenak. Mengisolasi diri dan memandang dari perspektif berbeda. Sejak itu tenis menjadi begitu berbeda bagi saya. Dari segi hasil, saya memainkan final turnamen Queen's, memenangi Wimbledon serta Cincinatti, dan kini menjuarai AS Terbuka," kata Djokovic.
"Mungkin kami akan mendaki lagi secepatnya," ujarnya sembari menyunggingkan senyum, demikian dilansir Reuters.
Sementara para pesaing beratnya mulai bergeletakan di New York, Djokovic tak membiarkan semangatnya kendur maupun upaya lawan untuk menyingkirkannya tercapai, demi menapaki jalan menuju gelar ketiganya di Flushing Meadows.
Kini Djokovic dalam jalur yang tepat untuk mendaki puncak lain, yakni klasemen petenis dunia, untuk kali pertama sejak terakhir kali menapaiknya pada Oktober 2016.
Djokovic mengaku bahwa dirinya pada Februari lalu tidak akan percaya bisa meraih berbagai gelar bergengsi tahun ini, namun menilai bahwa paceklik gelar yang dialaminya turut berperan membawanya kembali ke jalur yang benar.
"Saya belajar banyak tentang diri saya, tentang kesabaran, sesuatu yang tak pernah menjadi kekuatan saya. Namun pada saat bersamaan, hidup memperlihatkan saya bahwa hal-hal baik membutuhkan waktu untuk membangunnya, agar segala berjalan sesuai keinginan, demi membuatmu tetap berada di tengah, seimbang dan bertahan melewati segalanya," kata Djokovic.
"Dua bulan terakhir sungguh luar biasa," pungkasnya.
Baca juga: Kemenangan Naomi Osaka dan bayang-bayang Serena Williams
Baca juga: Naomi Osaka juara AS terbuka
Penerjemah: Gilang Galiartha
COPYRIGHT © ANTARA 2018
0 Response to "Djokovic petik resep juara dari Pegunungan Alpen"
Posting Komentar